Jumat, 26 Februari 2016

Cinta~

Ketika ku pejamkan mata. Yang terlihat hanyalah gelap. Membayangkan cerita dongeng indah, seperti yang sering ku dengar. Tapi bangunlah! Aku bukan cinderlellah, cerita indah bahagia selamanya. Cinta adalah imam untuk akhiratku. Menemui batas halal, menjemputku bertemu. Mencuri hati ayahku, untuk mengawali kisah romantis di hariku. Menunaikan akad di hadapan penghulu, merayu dengan lembut pada penciptaku. Saat itu, segala cerita akan bertemu. Sedih. Tawa. Cemburu. Kecewa. Bahagia. Terluka. Tangis. Mengerti. Membawa kontrak bahwa jalan ini akan dilewati bersama. Ini bukan kisah cinderlellah, tapi kisah aku dan cinta

Ungu~

Bagai di lautan luas yang belum pernah terjangkau oleh manusia. Ditemani ombak manja, mengaum mesra. Di bawahnya terlukis negri samudra berisi mutiara terpendam. Jika mendongak ke atas terlihat langit biru, menambah syahdunya jiwa. Awan suci menggantung. Burung-burung terbang di angkasa. Di lautan ini terdengar gemericik ikan bermain bebas. Terapung terang bayangan rembulan jika malam tiba. Damai. Indah. Gambaran warna ungu yang ku suka.

#inidiskripsikumanadiskripsimu?

*ngerti kan maksud tulisan diatas? 😅

Jilbab~

Ia menjadi alarm keras, ketika aku melakukan salah.

Menjadi rambu-rambu, saat akan mengambil keputusan.

Menambah rasa malu, jika ilmu islam tak ku genggam.

Kata orang memakainya perlu kesiapan, sebenarnya kesiapan akan datang setelah memakainya.

Ibu bilang jilbab bisa mewarnai mereka, ya benar. Mereka sangat  menghargaiku terutama kaum adam.

Kata teman-teman Istiqomah dengannya butuh perjuangan, tidak jika ia sudah menjadi kebutuhan.

(Flomairo Jannah)

Kamis, 04 Februari 2016

~menulis..

Matahari perlahan-lahan mulai pergi dari kota ampera itu. Tanda-tanda gelapnya malam akan mulai mewarnai timur dari kawasan peta dunia. Burung-burung terbang kesarangnya mencari perlindungan karena insting yang peka. Petang kali ini sedikit berbeda dari petang sebelumnya. Menyapu hangatnya matahari mempersilakan bulan menemani. Angin senja terhirup heran, melihat debu yang ikut terbang memaksa diri.
*
Dibalik jendela rumah itu, ada yang kecewa. Menyesali masa lalu. Kenapa? Pertemuan kelas pertama sastranya. Sungguh haru, ikut senang, tapi kecewa juga tak bisa dipungkiri.

'Aku tahu dia mengenal dunia menulis dari aku yang dulu publikasi di sosial media' batinnya sebal.

'Tapi aku tahu karena karyaku yang di jiplak, sampai nama penaku dihapus jadi nama orang, itulah yang membuat aku terluka dan berhenti menulis' batinnya kecewa.

'Sampai awal tahun lalu aku jatuh cinta lagi pada jemari menulis, Tuhan mempertemukan aku dengan mereka semua yang berkarya dengan menulis, perlahan tapi pasti bait perbait aku menulis di kertas putih, di layar putih, saat sendiri, saat ramai sekali, saat malam sepi sunyi, saat fajar datang menghampiri, atau matahari menampakan diri, ketika ada pengalaman yg menarik sekali, ada suara jangkrik pertanda tak ada yang kulalui, ada di dalam mimpi, apa lagi didunia nyataku ini, aku menulis. Ya! Tak bisa ku abaikan lagi aku kagum, suka, dan cinta pada dunia menulis' batinnya sumringah.

' hari ini aku yang siap belajar di kelas sastra, melihat guruku yang pertama yaitu dia! Ya dia yang dulu suka menulis karena membaca karyaku, dia temanku yang terus berkarya dan aku tenggelam karena kecewa, dia yang sudah sangat handal menulis tapi sekarang aku yang belajar dari awal lagi' Batinnya kali ini sedih.
Mulai dia cari inspirasi dan menulis lagi. (Flomairo Jannah)

Selasa, 02 Februari 2016

~ayah..

Tubuhnya lemas berbaring diatas keramik putih, tangan di atas kepala mata memejam kedalam, tak hiraukan bunyi perut yang sedari tadi menjerit untuk diisi, berbaring dari sana kesini terkesan lelah , dan kecewa seperti itulah yang terlihat saat ini, tak lama dari itu terdengar melodi hp nya berbunyi, pertanda sms yang harus segera dibuka dan dibaca, tapi perasaan enggan lebih besar dari keinginan untuk bergerak mengambil handponenya, kali ini ima mengingat apa yang terjadi  pada pukul 19.30 tadi, sambil tangannya memegang perut yang terasa pedih karena lapar yang bergerumuh hebatnya, kembali rasa manjanya menggelantungi, dan pada akhirnya dia menjatuhkan pilihan diam ditempat dari pada membaca pesan yang datang sedari tadi.

Potret kejadian pukul 19.30 tadi masih terngiang jelas di kepala ima, kejadian itu tidak lah manis semanis coklat panas yang baru dibumbui, tangannya mulai menyeka air yang berhasil jatuh dari kedua lensa matanya, bagaimana jika kau sedang berjuang untuk mencapai sesuatu dan mereka yang tidak faham memarahimu?. hatinya sesak, sesak sekali karena sakit itu lebih perih dari perut yang saat ini terasa pedih.

Perjalanan lumayan jauh dari kampusnya UIN ke plaju terus di laluinya demi sebuah ilmu yang sangat ingin dimiliki. 'Penghafal Qur'an' ya siapa yang tidak ingin? Dengan maksud belajar ilmu tahsin dia rela pergi melangkahkan kaki bersama teman-temannya ke sana. Belajar dari setelah sholat ashar sampai pukul 17.30 baru selesai. Segera dia  berlari-lari kecil berharap tidak magrib dijalan agar pulang cepat kerumah. Pasalnya memang perjalanan dari plaju kerumahnya lumayan jauh ditambah dia dan teman-temannya naik mobil bus untuk sampai ke rumah sendiri-sendiri.Tapi apa mau dikata? Pil sabarlah yang harus di telannya, karena ternyata macet panjang membuat dia harus pukul 19.30 baru sampai di rumah, pertengahan jalan pulang tadi Ima dan temannya stop dulu untuk berteduh di masjid melaksanakan sholat magrib yang sedari tadi memanggil yaitu suara muadzin.

Tiik..tiik..tiik suara jemari tangan ima terdengar lirih, pukul 17.00 tadi sebelum hp nya benar-benar habis batrai ima langsung mengabari keluarganya, memberikan pesan karena dia akan pulang terlambat dengan alasan masih belajar tahsin di plaju, setelah dikirimnya beberapa menit kemudian layar hp ima langsung hitam pertanda mati karena habis batrai.

"Apakah dengan belajar itu kau mendapatkan berlian? Tidak mengertikah kalau hari sudah malam?" teriak ayahnya ketika ima baru saja sampai dirumah, ima mencoba menjelasan kronologi yang terjadi sesungguhnya pada ayahnya berharap sedikit saja amarah ayahnya bisa padam, tapi percuma saja karena semakin dia menjawab ayahnya semakin menjadi-jadi marahnya, sampai mata ima merah menahan tangis yang siap terjun di pipi, diam seribu bahasa menjadi pilihannya yang terakhir.

Sampai amarah itu selesai ima beranjak ke kamar mandi untuk segera mandi, perlahan air matanya jatuh bukan karena omelan ayahnya tapi karena nada keras yang keluar dari ayahnya memaksa air matanya keluar tak tahan karena keterkejutan dan segakan berkolaborasi menyerbu dirinya. Adzan isya' berkumandang segera ia sholat menunaikan kewajiban, setelah itu ia baringkan badannya diatas keramik putih dikamar, mengingat wajah ayah yang merah padam karena marah dan suara ayah yang keras menyertainya pukul 19.30 tadi.
Kali ini pedih perut dan pedih hati menyertainya, dan terdengar melodi hp sms berbunyi berbeda menjadi melodi telfon, lalu segera diangkatnya

"assalaamu'alaikum ukh? Anty sudah sampai dirumah?" tanya puji salah satu temannya yang ikut belajar tahsin tadi dari suara sebrang sana

"Wa'alaikumussalam iya ukh sudah sampai dari tadi" jawabku lemas

"alhamdulillaah aku resah. Karena anty tidak membalas pesan-pesanku dari tadi. Yasudah kututup ya. Assalaamu'alaikum" tutupnya disebrang sana.

Sampai pukul 22 malam aku masih mengurung diri di dalam kamar, sambil menghibur diri sendiri mengambil beberapa impian yang berserakan dilantai, menyusun kembali puzle yang berceceran dimana-mana, meski sulit dan susah ima terus mencarinya sampai terkumpul lengkap hingga nanti waktu akan berbicara pada Tuhan bahwa waktunya dihabiskan untuk hal yang bermanfaat, untuk meraih impian menjadi penghafal al-qur'an, impian semua anak untuk memberikan mahkota pada kedua orangtuanya di akhirat kelak.

Tok..tokk..tok..
"Ima kamu sudah makan nak?" suara ibu memanggilku dari dalam kamar..
"Belum ma.. Ima akan makan sekarang.." jawab ku dari kamar karena  tidak bisa lagi lapar ini di negosiasi.
lma makan dengan lahap, ibu mengahampirimya "ibu lagi tidur tadi tapi ayah membangunkan ibu.. Menyuruh ibu untuk bertanya padamu sudah makan malam belum.. Karena kamu sii dari tadi mengurung diri di kamar.." ucap ibu menemani ima makan malam,  sesaat ima diam lalu senyumnya mengembang  diam-diam dipandanginya wajah ayah yang sedang menonton televisi di ruang tamu.